Apa makna dasar hari raya Idul Fitri bagi umat Islam?
Kita punya istilah ‘id. Dalam Islam, ada Idul Fitri ada Idul Adha. ‘Id berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘ada, kembali. Secara etimologis, Idul Fitri berarti “kembali berbuka.” Ini mungkin juga sekaligus meluruskan pemahaman kita tentang al-fitr. Selama ini, Idul Fitri diartikan “kembali ke fitrah.” Sebenarnya yang tepat adalah “kembali berbuka.” Fitr berbeda dengan fitrah. Satu fatarah, satu fitrah memakai ta’ marbutah, sedangkan al-fitr dalam kata Idul Fitri tidak memakai ta’ marbutah.
Tetapi apapun namanya istilah Idul Fitri buat kita adalah “mengungkapkan suatu kegembiraan setelah kurang lebih satu bulan kita yang beragama Islam berpuasa di siang hari dan kembali seperti biasa makan, minum dan berhubungan seks di siang hari.” Tapi bagi kita yang penting adalah Idul Fitri berarti “kembali ke kampung halaman rohani.” Dengan demikian, yang harus mudik itu sesungguhnya bukan dalam arti biologis. Coba kita lihat akhir-akhir ini mudik lebaran bukan main luar biasa, sampai “merepotkan” semua pihak. Padahal yang urgens adalah melakukan “mudik spiritual, mudik rohani.”
Kalau tidak salah, polisi kira-kira menghabiskan 45 milyar rupiah untuk menjaga dan mengamankan “prosesi” mudik tersebut.
Kita punya istilah ‘id. Dalam Islam, ada Idul Fitri ada Idul Adha. ‘Id berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘ada, kembali. Secara etimologis, Idul Fitri berarti “kembali berbuka.” Ini mungkin juga sekaligus meluruskan pemahaman kita tentang al-fitr. Selama ini, Idul Fitri diartikan “kembali ke fitrah.” Sebenarnya yang tepat adalah “kembali berbuka.” Fitr berbeda dengan fitrah. Satu fatarah, satu fitrah memakai ta’ marbutah, sedangkan al-fitr dalam kata Idul Fitri tidak memakai ta’ marbutah.
Tetapi apapun namanya istilah Idul Fitri buat kita adalah “mengungkapkan suatu kegembiraan setelah kurang lebih satu bulan kita yang beragama Islam berpuasa di siang hari dan kembali seperti biasa makan, minum dan berhubungan seks di siang hari.” Tapi bagi kita yang penting adalah Idul Fitri berarti “kembali ke kampung halaman rohani.” Dengan demikian, yang harus mudik itu sesungguhnya bukan dalam arti biologis. Coba kita lihat akhir-akhir ini mudik lebaran bukan main luar biasa, sampai “merepotkan” semua pihak. Padahal yang urgens adalah melakukan “mudik spiritual, mudik rohani.”
Kalau tidak salah, polisi kira-kira menghabiskan 45 milyar rupiah untuk menjaga dan mengamankan “prosesi” mudik tersebut.
Coba betapa besar “ongkos” yang harus kita bayar. Mudik yang mengiringi Idul Fitri menjadi semacam suatu pesta ritual tahunan yang sangat konsumtif. Bayangkan kalau akumulasi modal atau keuntungan atau gaji yang diperoleh selama satu tahun bekerja di kota tiba-tiba harus habis dalam satu minggu karena mudik biologis ke kampungnya itu. Substansi dari Idul Fitri adalah “pulang ke kampung halaman rohaninya.” Artinya kembali ke hati nurani. Ini yang sangat penting kita garisbawahi.
Hamzah Fansuri menyatakan dalam sajaknya bahwa dia mencari Allah di mana-mana, termasuk di Ka’bah. Tapi ternyata dia menemukan Allah di dalam dirinya sendiri. Artinya, rumah rohani kita sebetulnya ada di dalam diri kita. Menurut Anda?
Benar bahwa literatur yang paling tebal dalam kehidupan kita adalah diri kita sendiri. Tak heran ada hadis, meski ada juga yang mengatakan itu bukan hadis, “man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbahu. Jadi barang siapa yang mampu membuka dan membaca literatur-literatur dalam dirinya sendiri, maka jangankan memahami fenomena alam, bahkan ia mampu memahami Allah, memahami Tuhan. Ilmu yang paling berat adalah Tuhan, dan “misteri” besar itu bisa ditemukan dalam diri ini.
Kalau kita melakukan suatu konsentrasi atau kontemplasi kembali ke jati diri kita sendiri, kembali kepada bacaan, pengalaman-pengalaman masa lampau, membaca lembaran-lembaran hidup kita, maka muncul kearifan-kearifan di dalam diri ini.
Dalam bahasa Inggris, hari raya agama-agama disebut sebagai holy day, hari yang suci. Semua umat beragama mempunyai holy land atau tanah suci dan waktu yang suci. Bagaimana makna waktu dan tempat yang suci bagi umat beragama?
Saya kira, dalam Alquran dan juga Bibel, ada waktu yang suci. Misalnya, malam Jum’at disebut sayyidul ayyam. Kemudian sayyid al-syahr, penghulunya seluruh bulan adalah bulan Ramadhan dalam agama Islam. Kemudian dari segi tempat, tempat-tempat yang istimewa, misalnya alladzi baraknah haulahu (Q.s al-Isra: 1). Muncul pemahaman bahwa shalat di Mekkah, terutama di depan Ka’bah itu 100 ribu lebih utama daripada shalat di luarnya. Alasannya, Ka’bah merupakan pusat gravitasi spiritual atau, pusat magnet-magnet. Semakin kita dekat dengan tempat itu, maka kita semakin tersedot oleh energi spiritual tersebut. Mungkin dari sini juga bisa ada rasionalisasi, ada reasoning-nya mengapa shalat di depan Ka’bah peluang orang untuk khusu’ itu lebih besar daripada shalat di tempat selain Ka’bah. Itu luar biasa. Di samping simbol, juga ada faktanya di situ.
Saya juga pernah berkunjung ke Yerussalem dan Betlehem. Saya masuk ke al-Aqsha dan tempat suci orang Yahudi yang disebut Tembok Ratapan bagian barat. Ketika saya masuk ke sana, saya juga merasakan semacam gravitasi dan vibrasi-vibrasi spiritual. Apakah, hari, waktu atau tempat yang suci itu bermakna universal? Saat ini, ada kecenderungan untuk memaknai hari dan tempat suci hanya spesifik milik golongan tertentu saja. Kalau kita ingin menorobos hari atau tempat suci orang lain terkesan dilarang.
Yang asal main larang ini sebetulnya tidak semua pihak. Pelarangan itu sebenarnya lebih merupakan penafsiran daripada substansi kitab suci itu sendiri.
Termasuk larangan mengucapkan selamat Natal pada orang Kristen atau sebaliknya?
Pada dahulu distingsi-distingsi seperti itu mungkin diperlukan. Pada kondisi tertentu memungkinkan sebuah identitas itu menjadi penting. Saya ingin memberikan suatu ilustrasi bahwa harus ada perbedaan, harus ada distingsi antara postur dan gesture antara Islam dan non Islam pada waktu dulu. Salah satu ciri Islam pada waktu itu adalah harus memelihara kumis dan jenggot pada laki-laki, memakai jilbab untuk perempuan. Itu lebih merupakan tuntutan lokal pada zaman itu. Jadi tidak berarti bahwa menjadi seorang muslim harus memelihara kumis bagi laki-laki dan menggunakan jilbab bagi perempuan. Jadi jilbab dan kumis itu bukan sesuatu yang substansial menurut saya. Yang substansial itu adalah libasu taqwa, seperti yang ditegaskan dalam Alquran. Walibasu al-taqwa dzalikal khair, pakaian taqwa lebih baik.
Idul Fitru memuat dua makna; keagamaan dan sosial. Bagaimana kita melihat kecenderungan transformasi hari raya suatu agama menjadi hari raya semua lapisan masyarakat?
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, transformasi itu ada plus minus-nya. Mungkin kita bisa mencari nilai plus lebaran ini adalah terungkapnya kembali hubungan emosionalitas seseorang dengan orang lain. Jadi tidak mesti seseorang dipertemukan oleh kepentingan pasar, misalnya. Orang bisa berkumpul karena kepentingan emosional dan paguyuban. Masyarakat tak bisa melulu dipertemukan oleh kepentingan pasar, patembayan. Pertemuan paguyuban semacam mudik lebaran ini juga mempunyai dampak pada masyarakat itu sendiri.
Pendekatan ekonomi lebaran menarik untuk kita kaji. Pada satu sisi ada unsur-unsur konsumerisme di situ karena memperkaya para pengusaha transportasi. Tetapi pada saat sama, ritus budaya itu bisa diterjemahkan pemulangan uang yang menumpuk di kota ke daerah-daerah. Tentu ini sangat personal. Ini kesempatan orang desa untuk menerima uang dari kota. Bayangkan berapa banyak orang dalam satu desa yang datang dari Jakarta kembali ke desanya. Di sana mereka membelanjakan uang sehingga masyarakat desa itu kecipratan memperoleh keuntungan ekonomi. Ada pasar dadakan dan lain-lain
Tetapi pada sisi lain, kalau kita lihat dalam sudut pandang ekonomi murni, mudik lebih banyak aspek-aspek mubazirnya daripada keuntungannya. Tetapi bagi kita jangan hanya melihat dari sudut pandang ekonomi saja, tetapi juga ada hubungan silaturrahim. Mungkin ini yang penting. Kalau silaturrahim sudah tidak ada dalam masyarakat ini, bangunan-bangunan masyarakat nantinya akan sangat riskan dengan berbagai macam tantangan.
Kalau kita lihat di kota-kota besar ada trend yang makin menonjol belakangan ini, yaitu upacara halal bihalal yang dijadikan peristiwa untuk mempererat hubungan shilaturrahim antar kolega bisnis, rekan usaha dan lain-lain.
Saya kira, manfaat halal bihalal ini ada manfaat praktisnya, tetapi juga ada sesuatu yang tidak bisa terukur pancaindera. Siklus kehidupan ini sebetulnya membutuhkan adanya upacara-upacara tertentu. Misalnya manusia lahir, hamil tujuh bulan, akikah, khitanan, melamar dan perkawinan selalu dipenuhi upacara. Itu segi kehidupan biologis. Tetapi siklus tahunan juga; ada siklus adat, ada juga siklus agama. Di Jawa, ada siklus culture. Pada hari-hari apa, misalnya jatuh pusatnya. Pada hari apa sang nenek meninggal, misalnya.
Siklus keagamaan juga ada, misalnya bulan Ramadhan seperti ini. Kemudian sesudah itu ada halal bihalal. Tidak lama lagi ada Idul Adha. Kemudian ada Maulid Nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain. Momen-momen keagamaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat kita itu sebagai wadah silaturrahim.
Bahkan negara-bangsa juga membutuhkan suatu upacara untuk mengingat event-event penting seperti kemerdekaan dan kesaktian Pancasila. Rupanya upacara, ritual atau festival itu menjadi sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hari raya Idul Fitri dan lain-lain sebenarnya dilakukan dalam kerangka itu. Sekali lagi saya ingin bertanya, kalau hari raya sudah menjadi upacara sosial, untuk mempererat rasa trust, tali silaturrahim dan-lain semestinya bersifat lintas-batas di mana masyarakat saling mempererat kembali ikatan-ikatan sosialnya. Apakah Anda merasa ada sesuatu yang janggal seandainya umat Islam juga mengikuti upacara hari raya orang lain? Toh hari raya orang lain kadang-kadang sudah menjadi bagian dari suatu event social? Hari Nyepi di Bali misalnya sudah menjadi bagian dari event sosial juga.
Kalau saya melihat lebih banyak kendala psikologis ketimbang teologis. Sebabnya adalah kita terbiasa dalam kehidupan pemahaman yang monoton, karena kita terlalu ingin memelihara kemurnian akidah. Saya melihat bahwa persoalan lebih psikologis sebetulnya, bukan pada persoalan teks atau teologi. Kalau kita tarik benang merahnya sesungguhnya apa yang salah kalau, misalnya, saya sebagai orang Islam datang ke tempat-tempat upacara teman-teman yang lain. Akidah saya, insya Allah, tidak akan terganggu. Mungkin akan makin subur akidah saya. Ternyata kebesaran Allah, keuniversalan, kekuasaan-Nya itu bisa terbaca di mana-mana.
Kalau kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita sudah memperlakukan hari raya sebagai ajang untuk saling bertukar ucapan selamat, parcel dan-lain. Bukankah itu sudah hari raya sosial?
Jadi ada betulnya hadis Nabi Saw bahwa silaturrahim memperpanjang umur dan rezeki. Rezeki banyak, maka otomatis harapan hidup akan lebih panjang.
Hamzah Fansuri menyatakan dalam sajaknya bahwa dia mencari Allah di mana-mana, termasuk di Ka’bah. Tapi ternyata dia menemukan Allah di dalam dirinya sendiri. Artinya, rumah rohani kita sebetulnya ada di dalam diri kita. Menurut Anda?
Benar bahwa literatur yang paling tebal dalam kehidupan kita adalah diri kita sendiri. Tak heran ada hadis, meski ada juga yang mengatakan itu bukan hadis, “man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbahu. Jadi barang siapa yang mampu membuka dan membaca literatur-literatur dalam dirinya sendiri, maka jangankan memahami fenomena alam, bahkan ia mampu memahami Allah, memahami Tuhan. Ilmu yang paling berat adalah Tuhan, dan “misteri” besar itu bisa ditemukan dalam diri ini.
Kalau kita melakukan suatu konsentrasi atau kontemplasi kembali ke jati diri kita sendiri, kembali kepada bacaan, pengalaman-pengalaman masa lampau, membaca lembaran-lembaran hidup kita, maka muncul kearifan-kearifan di dalam diri ini.
Dalam bahasa Inggris, hari raya agama-agama disebut sebagai holy day, hari yang suci. Semua umat beragama mempunyai holy land atau tanah suci dan waktu yang suci. Bagaimana makna waktu dan tempat yang suci bagi umat beragama?
Saya kira, dalam Alquran dan juga Bibel, ada waktu yang suci. Misalnya, malam Jum’at disebut sayyidul ayyam. Kemudian sayyid al-syahr, penghulunya seluruh bulan adalah bulan Ramadhan dalam agama Islam. Kemudian dari segi tempat, tempat-tempat yang istimewa, misalnya alladzi baraknah haulahu (Q.s al-Isra: 1). Muncul pemahaman bahwa shalat di Mekkah, terutama di depan Ka’bah itu 100 ribu lebih utama daripada shalat di luarnya. Alasannya, Ka’bah merupakan pusat gravitasi spiritual atau, pusat magnet-magnet. Semakin kita dekat dengan tempat itu, maka kita semakin tersedot oleh energi spiritual tersebut. Mungkin dari sini juga bisa ada rasionalisasi, ada reasoning-nya mengapa shalat di depan Ka’bah peluang orang untuk khusu’ itu lebih besar daripada shalat di tempat selain Ka’bah. Itu luar biasa. Di samping simbol, juga ada faktanya di situ.
Saya juga pernah berkunjung ke Yerussalem dan Betlehem. Saya masuk ke al-Aqsha dan tempat suci orang Yahudi yang disebut Tembok Ratapan bagian barat. Ketika saya masuk ke sana, saya juga merasakan semacam gravitasi dan vibrasi-vibrasi spiritual. Apakah, hari, waktu atau tempat yang suci itu bermakna universal? Saat ini, ada kecenderungan untuk memaknai hari dan tempat suci hanya spesifik milik golongan tertentu saja. Kalau kita ingin menorobos hari atau tempat suci orang lain terkesan dilarang.
Yang asal main larang ini sebetulnya tidak semua pihak. Pelarangan itu sebenarnya lebih merupakan penafsiran daripada substansi kitab suci itu sendiri.
Termasuk larangan mengucapkan selamat Natal pada orang Kristen atau sebaliknya?
Pada dahulu distingsi-distingsi seperti itu mungkin diperlukan. Pada kondisi tertentu memungkinkan sebuah identitas itu menjadi penting. Saya ingin memberikan suatu ilustrasi bahwa harus ada perbedaan, harus ada distingsi antara postur dan gesture antara Islam dan non Islam pada waktu dulu. Salah satu ciri Islam pada waktu itu adalah harus memelihara kumis dan jenggot pada laki-laki, memakai jilbab untuk perempuan. Itu lebih merupakan tuntutan lokal pada zaman itu. Jadi tidak berarti bahwa menjadi seorang muslim harus memelihara kumis bagi laki-laki dan menggunakan jilbab bagi perempuan. Jadi jilbab dan kumis itu bukan sesuatu yang substansial menurut saya. Yang substansial itu adalah libasu taqwa, seperti yang ditegaskan dalam Alquran. Walibasu al-taqwa dzalikal khair, pakaian taqwa lebih baik.
Idul Fitru memuat dua makna; keagamaan dan sosial. Bagaimana kita melihat kecenderungan transformasi hari raya suatu agama menjadi hari raya semua lapisan masyarakat?
Dilihat dari sudut pandang sosiologis, transformasi itu ada plus minus-nya. Mungkin kita bisa mencari nilai plus lebaran ini adalah terungkapnya kembali hubungan emosionalitas seseorang dengan orang lain. Jadi tidak mesti seseorang dipertemukan oleh kepentingan pasar, misalnya. Orang bisa berkumpul karena kepentingan emosional dan paguyuban. Masyarakat tak bisa melulu dipertemukan oleh kepentingan pasar, patembayan. Pertemuan paguyuban semacam mudik lebaran ini juga mempunyai dampak pada masyarakat itu sendiri.
Pendekatan ekonomi lebaran menarik untuk kita kaji. Pada satu sisi ada unsur-unsur konsumerisme di situ karena memperkaya para pengusaha transportasi. Tetapi pada saat sama, ritus budaya itu bisa diterjemahkan pemulangan uang yang menumpuk di kota ke daerah-daerah. Tentu ini sangat personal. Ini kesempatan orang desa untuk menerima uang dari kota. Bayangkan berapa banyak orang dalam satu desa yang datang dari Jakarta kembali ke desanya. Di sana mereka membelanjakan uang sehingga masyarakat desa itu kecipratan memperoleh keuntungan ekonomi. Ada pasar dadakan dan lain-lain
Tetapi pada sisi lain, kalau kita lihat dalam sudut pandang ekonomi murni, mudik lebih banyak aspek-aspek mubazirnya daripada keuntungannya. Tetapi bagi kita jangan hanya melihat dari sudut pandang ekonomi saja, tetapi juga ada hubungan silaturrahim. Mungkin ini yang penting. Kalau silaturrahim sudah tidak ada dalam masyarakat ini, bangunan-bangunan masyarakat nantinya akan sangat riskan dengan berbagai macam tantangan.
Kalau kita lihat di kota-kota besar ada trend yang makin menonjol belakangan ini, yaitu upacara halal bihalal yang dijadikan peristiwa untuk mempererat hubungan shilaturrahim antar kolega bisnis, rekan usaha dan lain-lain.
Saya kira, manfaat halal bihalal ini ada manfaat praktisnya, tetapi juga ada sesuatu yang tidak bisa terukur pancaindera. Siklus kehidupan ini sebetulnya membutuhkan adanya upacara-upacara tertentu. Misalnya manusia lahir, hamil tujuh bulan, akikah, khitanan, melamar dan perkawinan selalu dipenuhi upacara. Itu segi kehidupan biologis. Tetapi siklus tahunan juga; ada siklus adat, ada juga siklus agama. Di Jawa, ada siklus culture. Pada hari-hari apa, misalnya jatuh pusatnya. Pada hari apa sang nenek meninggal, misalnya.
Siklus keagamaan juga ada, misalnya bulan Ramadhan seperti ini. Kemudian sesudah itu ada halal bihalal. Tidak lama lagi ada Idul Adha. Kemudian ada Maulid Nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain. Momen-momen keagamaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat kita itu sebagai wadah silaturrahim.
Bahkan negara-bangsa juga membutuhkan suatu upacara untuk mengingat event-event penting seperti kemerdekaan dan kesaktian Pancasila. Rupanya upacara, ritual atau festival itu menjadi sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hari raya Idul Fitri dan lain-lain sebenarnya dilakukan dalam kerangka itu. Sekali lagi saya ingin bertanya, kalau hari raya sudah menjadi upacara sosial, untuk mempererat rasa trust, tali silaturrahim dan-lain semestinya bersifat lintas-batas di mana masyarakat saling mempererat kembali ikatan-ikatan sosialnya. Apakah Anda merasa ada sesuatu yang janggal seandainya umat Islam juga mengikuti upacara hari raya orang lain? Toh hari raya orang lain kadang-kadang sudah menjadi bagian dari suatu event social? Hari Nyepi di Bali misalnya sudah menjadi bagian dari event sosial juga.
Kalau saya melihat lebih banyak kendala psikologis ketimbang teologis. Sebabnya adalah kita terbiasa dalam kehidupan pemahaman yang monoton, karena kita terlalu ingin memelihara kemurnian akidah. Saya melihat bahwa persoalan lebih psikologis sebetulnya, bukan pada persoalan teks atau teologi. Kalau kita tarik benang merahnya sesungguhnya apa yang salah kalau, misalnya, saya sebagai orang Islam datang ke tempat-tempat upacara teman-teman yang lain. Akidah saya, insya Allah, tidak akan terganggu. Mungkin akan makin subur akidah saya. Ternyata kebesaran Allah, keuniversalan, kekuasaan-Nya itu bisa terbaca di mana-mana.
Kalau kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita sudah memperlakukan hari raya sebagai ajang untuk saling bertukar ucapan selamat, parcel dan-lain. Bukankah itu sudah hari raya sosial?
Jadi ada betulnya hadis Nabi Saw bahwa silaturrahim memperpanjang umur dan rezeki. Rezeki banyak, maka otomatis harapan hidup akan lebih panjang.
Idul Fitri tahun ini hampir bersamaan dengan Natal. Kemudian ada Imlek, Waisyak dan lain-lain. Bagaimana Anda memaknai hari raya yang berurutan semacam ini? Ini kesempatan buat umat yang berbeda-beda untuk saling meneguhkan tali silaturrahim. Selama ini kalau kita bicara mengenai silaturrahim kok internal saja.
Paling tidak, seseorang yang bisa meningkatkan religiusitasnya, maka sensitifitasnya akan semakin tajam, keprihatinan sosialnya terhadap ketimpangan dalam masyarakat itu juga makin terasa. Saya pernah menghitung-hitung pendapatan orang di kampung saya hanya Rp. 3000 per hari. Saya pernah makan di sebuah restoran di Jakarta, ternyata harus di-charge Rp. 300.000. Orang di kampung saya membutuhkan waktu tiga bulan untuk makan seperti ini. Betapa tidak adilnya dengan pengalaman saya mudik ke kampung saya. Sedikit buat kami di kota ternyata sangat besar artinya di pedesaaan. Hubungan emosionalitas kita dengan orang lain akan terasah dengan adanya peristiwa seperti ini.
Kemudian juga manfaat eksternalnya. Kadang-kadang juga tetangga sebelah kita merayakan Imlek lantas saling kirim makanan. Ketika lebaran kita memberi ketupat. Akhirnya timbul perasaan hutang budi ketika mereka merayakan hari rayanya. Saya piker, manfaatnya ada secara eksternal. Saya kira kalau semua moment yang sangat banyak ini, kita tarik manfaat sosialnya, maka sangat bermanfaat untuk kita semua.
Kalau menganggap hari raya Idul Fitri semata-mata urusan pribadi orang Islam dengan agamanya dan tidak punya implikasi social, itu kurang tepat. Atau hanya dianggap peristiwa sosial tanpa makna spiritual, itu juga salah?
Dalam salah satu ayat Q.s Ali-Imron disebutkan bahwa pola kehidupan manusia sesungguhnya harus diukur dengan ukuran vertikal-horizontal tadi. Araaital ladzi yukadzdzibu biddin: “Tahukah kalian siapa yang beragama secara kamuflase, artifisial dan hipokrit?” Ini ukuran horizontal. Tidak care terhadap anak yatim. Yatim bukan hanya anak mati ditinggal bapaknya. Penafsiran ini terlalu bersifat Timur Tengah karena bapak menjadi sentral. Dalam fiqh yang dimaksud yatim adalah ditinggal mati bapaknya. Tetapi kalau ibunya yang meninggal bukan yatim. Di Indonesia semestinya juga disebut yatim bila ibu yang meninggal.
Yang penting ada keterputusan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tempat bergantungnya hilang. Ketergantungan orang terhadap bapak dalam kultur Arab memang sangat tinggi. Tetapi di Indonesia bukan hanya bapak, tapi paralel bapak dan ibu.
Fadzalikal lalzi yadu’ul yatim wala yahuddu ‘ala tha’amil miskin. Jadi 27 kali Tuhan menegaskan kata yatim dan 28 kali kata miskin. Kenapa Tuhan berulang-ulang kali menjadikan yatim dan miskin sebagai kriteria mengukur kadar keberagamaan seseorang? Jadi kuaalitas keberagamaan seseorang tidak dinilai hablim minallah saja, tapi ini lebih ditekankan hablum minannas. Lantas fawailul lil mushollin, maka “celakalah bagi orang yang shalat.” Allazinahum ‘an shalatihim sahun, “yang alpa dalam shalatnya.” Jadi shalatnya tidak membawa vibrasi sosial. Apalagi ayat berikutnya: allazina hum yuraun, “yang mendemonstrasikan kemewahannya di atas penderitaan orang lain.” Wayam naunal ma’un, “dan enggan memberi bantuan terhadap orang.”
Secara simbolik, zakat merupakan manifestasi solidaritas kita dengan orang-orang yang miskin. Doktrin keadilan sosial penting dalam Islam. Masalahnya, kenapa nilai keadilan kurang tercermin dalam sistem sosial orang Islam sendiri?
Kata-kata keadilan itu memang kalah sakral dengan idiom jihad. Kita ingin menciptakan khalifah yang hebat di atas permukaan bumi. Sebagai hamba ingin sukses dan sebagai khalifah ingin sukses. Rasanya sulit menjadi khalifah yang sukses kalau kita miskin. Tidak akan pernah menjadi khalifah yang sukses kalau persoalan-persoalan ketidakadilan social tidak terperhatikan. Tidak akan pernah menjadi ‘abid yang hebat kalau hubungan horizontal kita bermasalah. Saya pikir, beragama adalah ukuran rasional.
Kemarin kita ramai merayakan lailatul Qadar. Kita sering mengatakan bahwa kita jangan memitoskan lailatul Qadar. Al-laila tidak harus berarti malam. Dalam syair-syair Arab, dalam tafsir-tafsir tasawuf al-lail itu adalah sebuah keheningan, keikhlasan, ketulusan, kesyahduan atau kekhusyuan. Itulah pangkalan pendaratannya lailatul Qadar. Seperti Nabi yang uzlah di gua Hira. Kalau kita ingin memperoleh lailatul Qadar, pendaratannya harus disiapkan di dalam hati. Jadi al-lail bukan hanya malam hari, tapi siang pun bisa asalkan mampu berperasaan seperti al-laila. Ada sebuah kesejukan, ketenangan, thuma’ninah.
Sebagai epilog, kami mengucapkan selamat Idul Fitri kepada umat Islam dan semua umat beragama di Indonesia. Hari ini adalah hari kemanusiaan universal.